Header Ads

Tambahan Penting

PERNYATAAN :
Al-Imam Asy-Syafi’i sekalipun tidak pernah diriwayatkan ketika datang ke baghdad yang di sana terdapat beberapa masjid, bahwa beliau melakukan shalat dzuhur setelah melakukan shalat jumat. 

Ternyata :
Benarkah Shalat Jum’at Sebagai Pengganti Shalat Dhuhur? 

Masalah ini sudah menjadi bahan perdebatan sejak dahulu. Bahkan Imam Syafi’iy ketika masih berada di Irak pernah bersikeras, bahwa shalat dhuhur adalah kewajiban tersendiri yang dalilnya menjadi satu paket dengan shalat 5 waktu lainnya. Sedang shalat Jum’at adalah juga kewajiban tersendiri dengan dalil tersendiri pula. Namun setelah beliau pindah ke Mesir dan berinteraksi dengan para ulama murid-murid Imam Malik, beliau mengetahui adanya riwayat sangat terkenal bahkan mencapai derajat mutawatir (aklamatif), bahwa Rasulullah SAW setelah melaksanakan shalat Jum’at tidak lagi mengerjakan shalat dhuhur.

Akhirnya Imam Syafi’iy mengubah pendapatnya yang di Irak (kemudian dikenal sebagai pendapat lama/qaul qadim) dari kewajiban terpisah antara shalat dhuhur dengan shalat Jum’at menjadi satu kesatuan, bahwa siapa yang sudah shalat Jum’at tidak perlu lagi shalat dhuhur. Inilah pendapat baru (qaul jadid) Imam Syafi’iy yang berlaku sampai sekarang.

Ternyata dalam madzhab yang lain-pun sama. Dalam madzhab Hanafiy, Malikiy dan Hanbaliy juga menetapkan, bahwa mereka yang sudah menunaikan shalat Jum’at tidak perlu lagi shalat dhuhur. Bahkan Prof. DR. Wahbah az-Zuhailiy menyatakan, bahwa haram hukumnya shalat dhuhur bagi mereka yang sudah melakukan shalat Jum’at di masjid «induk» (masjid terbesar dalam suatu lingkungan).

Dalam perspektif ushul fiqih, dasar penetapan hukum yang demikian ini termasuk katagori ijma’ (kesepakatan) ulama ahli fiqih. Jadi kalau yang ditanyakan adalah dalil tekstual (naqliy) dari al-Qur’an tentang ”gugurnya” shalat dhuhur karena shalat Jum’at, pasti tidak ada; yang ada hanya perintah shalat Jum’at (surat al-Jumu’ah 9). Bagitu juga dari teks al-Hadits, sampai saat ini belum saya temukan, karena periwayatannya memang secara mutawatir. Hal ini sama sekali tidak mengurangi keshahihan suatu dalil, karena yang demikian juga terjadi pada teks al-Qur’an yang juga kita terima secara mutawatir (aklamatif), sehingga tidak diketahui lagi person-person yang meriwayatkannya.

Sumber: ( Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA, Fiqih Kontemporer II, )

Mengapa Imam Syafii sampai merubah pendapatnya ??? kabar muttawatir itu yang harus kita dapatkan.


No comments

Powered by Blogger.